![]() |
(Source: Pinterest) |
Konsep
kesetaraan gender memang tidak dapat dipisahkan dengan feminisme. Kesetaraan
gender di Indonesia masih menuai perdebatan yang panjang karena banyaknya
masyarakat yang pro maupun kontra dengan konsep tersebut. Kesalahkaprahan dalam
pendefinisian kesetaraan gender yang dimaksud, sehingga menyebabkan banyaknya
penolakan terhadap feminis. Padahal feminis memiliki ide mulia ingin
memperjuangkan kesetaraan gender dan persamaan hak dalam bidang politik,
pendidikan, ekonomi, dan hukum. Namun kaum anti-feminis tetap memaksa bahwa
kita tidak butuh feminisme untuk bisa mendapatkan hak-haknya, apakah benar
demikian?
![]() |
(Source: pinterest) |
Sebenarnya,
bukan hanya hak-hak perempuan yang ingin diperjuangkan, melainkan ketidakadilan
yang didapatkan oleh suatu gender tertentu. Ketidakadilan gender tersebut salah
satunya bisa dibuktikan dengan keterlibatan perempuan di kursi DPR yang tidak
pernah mencapai kuota 30 persen https://tirto.id/kuota-30-perempuan-di-parlemen-belum-pernah-tercapai-cv8q.
Dengan
adanya ketidakadilan gender tersebut, sulit untuk menyetarakan gender di
Indonesia.
Tidak
perlu jauh-jauh memikirkan kursi DPR yang didominasi oleh laki-laki, karena
dalam kehidupan sehari-hari pun kita tidak bisa dinyatakan setara. Tentu sudah tidak asing lagi dengan pernyataan
“perempuan selalu benar”. Pernyataan tersebut bukan sebagai lampu hijau
perempuan untuk mendapatkan keadilan dalam penyampaian pendapatnya, justru hal tersebut
menyepelekan kemampuan berpikir perempuan. Parahnya, terkadang digunakan sebagai
sindiran untuk merendahkan dan menyinggung perempuan memiliki
sifat semaunya sendiri tanpa bisa diintervensi. Padahal perempuan bukan selalu
benar, akan tetapi perempuan juga berhak pemahamannya dipertimbangkan maupun
diterima.
Bukan
hanya sekali dua kali, ketika mendapati seorang laki-laki yang suka bergosip
dan tidak konsisten dengan keputusannya akan disebut sebagai lambe wedhok atau mulut perempuan. Mengapa
harus perempuan yang direfleksikan sebagai kaum penggosip? Padahal, gosip sudah menjadi konsumsi pergaulan, sehingga sulit untuk dihindari. Namun perlu diingat, tidak semua perempuan suka bergosip. Begitu
juga dengan pengambilan keputusan, mengapa harus perempuan yang digambarkan
sebagai kaum yang tidak bertahan pada pendiriannya? Tentu kita tidak bisa
menggeneralisasikan bahwa kedua sifat itu dimiliki hanya pada salah satu gender
dan tidak bisa menerima dengan pasrah suatu pelabelan yang merugian perempuan.
Dalam
pergaulan pun, banyak pernyataan laki-laki seksis yang
mengatakan “dia bekasku” setelah putus dengan kekasihnya. Pernyataan tersebut secara
tidak langsung mengobjekkan perempuan dengan menyamakannya dengan barang
atau benda mati. Tidak bisa dipungkiri, bahwa pada saat melakukan hubungan
seksual tentunya kita melibatkan relasi, empati, dan simpati yang tidak akan
didapatkan apabila kita melakukannya dengan benda mati. Persoalan mengobjekkan gender disini banyak melupakan bahwa perempuan tidak dapat disamakan dengan benda
mati. Bagaimanapun, perempuan juga manusia yang memiliki perasaan dan pikiran.
Perlakuan
menyepelekan, melabeli, dan mengobjek suatu gender masih bisa dijadikan sebagai
bukti bahwa perempuan masih belum bisa dianggap setara dengan laki-laki. Tetapi
tidak bisa menyalahkan budaya patriarki yang masih kental di Indonesia,
ternyata ada faktor lain yang berasal dari perempuan yaitu perempuan memanfaatkan
tubuhnya untuk melemahkan dirinya sendiri dan bergantung kepada laki-laki. Demonstrasi
kesetaraan gender tidak akan berhasil apabila hanya diperjuangkan oleh gender
tertentu. Maka dari itu butuh bantuan dari semua pihak untuk menyamakan tujuan
supaya bisa setara. Bukankah laki-laki berkualitas tidak takut ekualitas?
Komentar
Posting Komentar