Judul
: Perempuan Bersampur Merah
Karya
: Intan Andaru
Tahun
: 2019
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama
Sinopsis
:
Perempuan
Bersampur Merah menceritakan tentang seorang perempuan
yang bernama Sari. Sejak kecil, Sari hidup sangat berkecukupan atau bahkan
seringkali kekurangan. Karena kemiskinan yang selalu dihadapi oleh keluarga
Sari, akhirnya Sari memiliki sifat lembut dan pandai bersyukur dengan segala
keadaan. Dimulai dari pengalaman masa kecil sebagaimana anak kecil di pedesaan,
Sari memiliki sahabat yang bernama Ahmad dan Rama yang menemaninya bermain.
Kemudian konflik mulai
memanas ketika Sari mendapati ayahnya mati terbunuh ketika usianya baru 12
tahun. Sari menaruh kemarahan yang teramat besar kepada pembunuh ayahnya.
Sembari mencari informasi untuk mengetahui pembunuh ayahnya, Sari bertemu
dengan Mak Rebyak yang merupakan pemilik sanggar tari gandrung. Tidak disangka
bahwa pertemuannya dengan Mak Rebyak tersebut mengantarkannya menjadi seorang
penari gandrung.
Setelah beranjak
dewasa, Sari dipertemukan dengan cinta segitiga antara dirinya dengan kedua
sahabat kecilnya. Jauh dalam hati yang terdalam, Sari memilih Rama karena
hatinya lebih memilih Rama. Akan tetapi, Rama yang sedang berkuliah di Bogor
dan Sari yang tinggal di Banyuwangi akhirnya membuat keduanya berjarak.
Sedangkan Ahmad diam-diam menyimpan rasa kepada Sari.
Feminisme
Eksistensialisme dalam
Novel
Perempuan Bersampur Merah Karya Intan Andaru
Feminisme
merupakan suatu gerakan yang menuntut kesetaraan gender dalam bidang sosial, ekonomi,
dan hukum. Meskipun gerakan feminisme telah menelurkan pemahaman berbagai
aliran, salah satunya feminisme eksistensialisme. Kaum feminis eksistensial
melihat ketertindasan perempuan dari beban reproduksi yang ditanggung
perempuan, sehingga tidak mempunyai posisi yang tawar dengan laki-laki. Feminis
eksistensialis mengajak perempuan untuk melonak segala bentuk opresi –baik itu
melalui nilai budaya, kondisi sosial, ekonomi, dan lain-lain- yang dapat
mendiskriminasikan perempuan atas hak serta kebebasannya, dan bisa
menghilangkan sisi keberadaan/eksistensinya sebagai manusia.
Novel
Perempuan Bersampur Merah karya Intan
Andaru merepresentasikan perempuan Banyuwangi yang memiliki ketertinggalan
secara pendidikan, namun memiliki eksistensi sebagai penari gandrung. Perempuan
tidak selalu harus memiliki pendidikan yang tinggi untuk menggapai
cita-citanya. Tokoh Sari dalam novel tersebut mampu membuktikan bahwa perempuan
dapat memiliki eksistensinya meskipun tidak memiliki pendidikan yang tinggi.
Tokoh Sari merupakan feminis eksistensialis.
Tokoh
yang sangat berpengaruh pada feminisme eksistensialisme yaitu Simone De
Beauvoir. Beauvoir membagi feminisme eksistensialis dalam tiga bagian yaitu
takdir dan sejarah perempuan; mitos perempuan, dan kehidupan perempuan kini.
Ketiganya menuntut kebebasan perempuan untuk berekspresi.
Novel
Perempuan Bersampur Merah akan menggunakan kajian feminisme eksistensialisme
untuk menjadi pisau bedahnya. Dengan begitu, peneliti memiliki tujuan untuk
mengungkap segi eksistensi perempuan yang terdapat dalam novel tersebut.
Analisis data yang akan dilakukan sebagai berikut.
1 1. Takdir dan Sejarah Perempuan
Beauvoir
mencatat bahwa biologi menawarkan pada masyarakat fakya yang kemudian oleh
masyarakat di interpretasi sesuai kebutuhannya sendiri. Pembebasan perempuan
membutuhkan paling tidak, penghapusan lembaga yang melanggengkan hasrat-hasrat
lelaki untuk menguasai perempuan. Beauvoir tidak puas dengan penjelasan
tradisional berdasarkan alasan-alasan biologis, psikologis, dan ekonomi (Tong,
1998:266).
Siang itu, kami duduk di depan pagar
rumah Mak Rebyak. Sambil menata napasnya yang tersenggal-senggal, ia bercerita
padaku bahwa ia telat menstruasi empat bulan. Aku masih belum mengerti
bagaimana bisa telat menstruasi mampu membuatnya sekacau itu. Setelah ia bilang
bahwa sudah membeli alat untuk mengecek kencing sendiri dengan hasil yang
menunjukkan bahwa ia hamil, baru aku mengerti (Andaru, 2019:118)
Data tersebut menyebutkan bahwa
perempuan memiliki kodratnya sendiri yaitu yang berhubungan dengan biologisnya.
Perempuan adalah manusia yang mempunyai alat kelamin yang dapat menstruasi,
hamil, melahirkan anak serta menyusui. Meskipun perempuan memiliki kodrat yang
berbeda dengan laki-laki, lantas alasan tersebut tidak dapat dijadikan penyebab
subordinasi terhadap perempuan. Perempuan yang sedang mengalami fase yang alami
dalam tubuhnya tetap berhak untuk mendapatkan keadilan dalam hal apapun.
2 2. Mitos Tentang Perempuan
Bersamaan
dengan perkembangan kebudayaan, lelaki mendapatkan bahwa mereka dapat menguasai
perempuan dengan menciptakan mitos tentang perempuan. Beauvoir menekankan bahwa
setiap lelaki selalu dalam pencarian akan perempuan ideal yaitu, perempuanyang
akan menjadikannya lengkap. Tetapi kebutuhan dasar lelaki tampak sama (Tong,
1998:167)
Apalagi Ibu yang begitu percaya dengan
keyakinan turun-menurun itu –tentang larangan menolak lamaan seseorang,
keharusan menyegerakan pernikahan, dan ketakutan menjadi perawan tua. Ibu tentu
sangat mengkhawatirkanku. Takut aku menjadi perawan tua dan tidak bahagia
(Andaru, 2019:174-175)
Data
tersebut membuktikan bahwa perawan tua masih menjadi mitos yang sangat ditakuti
oleh perempuan. Di Indonesia yang masyarakatnya masih cukup konservatif ini
sulit untuk menerima pilihan seorang perempuan. Perempuan harus didesak untuk
segera menikah ketika ia telah merampungkan tugas pendidikannya. Padahal, perempuan seharusnya memiliki
kebebasannya sendiri untuk memilih pasangan dan kapan memutuskan untuk menikah
tanpa harus mendapatkan anjuran dari orang lain. Istilah perawan tua hanyalah
stigma yang ditekankan kepada perempuan untuk bersedia menikah dengan laki-laki
yang sudah waktunya untuk menikah. Sedangkan pernikahan seharusnya datang dari
kemauan seseorang, bukan paksaan dari orang lain.
3 3. Kehidupan Perempuan Kini
Menerima
peran sebagai Liyan menurut Beauvoir adalah menerima status objek yang berarti.
Disatu sisi, diri autentik perempuan hidup sebagai diri-objek yang dilihat dari
dunia lelaki. Disisi lain, diri autentik perempuan hidup sebagai diri yang
terasingkan dan kasat mata bahkan bagi dirinya sendiri. Sebagai akibatnya
perempuan menjadi diri yang terpecah (Tong, 1998:47).
Ia bilang padaku untuk belajar menari,
aku harus bergabung dengan sanggar tarinya dan ikut les dengan membayar dua
puluh ribu rupiah per bulan. Aku mengerut seketika. Dari mana kudapatkan uang
segitu banyak. Raut wajah Mak Rebyak yang cadas itu membuatku ingin cepat
pulang. Dan kupastikan satu-satunya kondisi yang akan membawaku datang ke sini
lagi adalah ketika aku sudah mengantongi cukup uang untuk membayar uang les tari
(Andaru, 2019:105).
Data tersebut membuktikan bahwa tokoh
Sari yang bersudutpandang ‘aku’ tersebut memiliki kehidupannya sendiri untuk
bebas menentukan apa yang menjadi keinginannya. Sari berkeinginan untuk menjadi
penari Gandrung sebagai ladang penghasilannya. Seorang perempuan kini bebas
mendapatkan apa yang menjadi cita-citanya. Dengan menjadi penari Gandrung, Sari
akan mendapatkan citranya dalam kebebasannya berekspresi.
Kesimpulan:
Hasil dari penelitian
tersebut untuk mengetahui eksistensi seorang penari Gandrung dalam novel Perempuan Bersampur Merah karya Intan
Andaru. Tokoh Sari yang merupakan perempuan tersebut mampu untuk mengubah citra
penari dengan stigma buruknya untuk mendapatkan pengakuan sebagai penari yang
baik. Sari sebagai perempuan yang bereksistensi dengan kebebasannya
berekspresi.
Daftar Pustaka
Tong, R. 1998. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.
Andaru, I. 2019. Perempuan Bersampur Merah. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Umum.
Komentar
Posting Komentar